PEMIRA KM ITB 2019: Sebuah Penantian yang Mendebarkan

Kisah ini dimulai sejak aku masuk ke Kongres KM ITB 2019/2020. Sebelumnya aku pernah menggantikan Senator HIMAFI ITB 2018/2019 karena yang bersangkutan menyalonkan diri menjadi MWA WM ITB 2019/2020 sehingga aku menjadi PJS Senator HIMAFI ITB terlebih dahulu. Pada saat itu aku sudah cukup sering ikut agenda Kongres KM ITB sebagai timsen, karena sudah menjadi PJS Senator sudah semestinya aku hadir di semua agenda Kongres KM ITB. Aku menjadi PJS Senator selama kurang lebih dua hingga tiga bulan, kemudian aku direcall oleh himpunan untuk sementara waktu, karena memang surat delegasi sebagai PJS sudah habis sejalan dengan usainya LPJ Badan Pengurus HIMAFI ITB 2018/2019 dan Kesenatoran HIMAFI ITB 2018/2019.

Kilas Balik Bertimsen Ria
Sedari awal masuk himpunan, aku magang di Tim Kesenatoran, niatku memang hanya ingin kekepoanku terjawab saja, tidak lebih tidak kurang. Namun, dalam keberjalanannya rasa ingin tahuku berubah menjadi hal-hal menarik yang jika diceritakan tentu akan sangat panjang, namun akan coba ku ringkas. Saat menjadi Timsen Kak Hessel (Senator HIMAFI ITB 2017/2018), aku masih awam terhadap isu kesenatoran, tahunya ya “Senator tuh narik aspirasi, terus agenda sampai pagi, terus bikin ketetapan. Keren!” sampai aku diberikan tugas magang berupa wawancara beberapa senator himpunan lain, terutama Ketua Komisi. Aku sangat antusias, hampir semua wawancara aku ikuti dengan penuh semangat dan haus akan pengetahuan tentang kesenatoran. Tidak setengah-setengah, aku tidak pernah membolos jika ada kumpul timsen. Kak Hessel dulu Ketua Komisi Pemilihan Umum, isu yang sering Kak Hessel bahas tentang Pemilihan K3M dan MWA WM ITB. Dari sinilah aku merasa, “Ribet banget ya nentuin pemimpin!”.

Kumpul perdana diberikan pertanyaan, “Kenapa mau magang timsen?”. Lalu aku jawab, “Kepo aja sih, di TPB gatau apa-apa.” Dulu ada kumpul dengan senator tapi dibatalkan, itu membuatku menjadi penasaran “Sesibuk apa sih manusia yang menjadi senator ini sampai kumpul dibatalkan?”. Kumpul perdana diawali dengan dibuatnya multichat oleh Kak Acle, di sana dia mengumumkan tanggal kumpul dan tempatnya, “Tanggal sekian di bunker ya gaes.”. Lalu dengan polosnya aku menjawab, “Di atas bunker atau di dalam bunker, Kak?”. Iya, masih maba jurusan jadi sangat polos. Kumpul perdana dipimpin oleh Kak Acle dan Kak Ginda, membahas tentang dokumen legal formal yang ada di KM ITB seperti Konsepsi dan AD ART KM ITB. Sekilas aku sudah mengetahui isinya dari Sekolah Mentor yang aku ikuti, apalagi aku berteman dengan Yudha, jadi sumber bacaanku bertambah, kalau bukan karena dia, di Sekolah Mentor aku tidak akan banyak membaca dokumen seperti itu, tidak ada keinginan untuk lebih pintar dari maba-mabanya, tapi karena mengenalnya aku bekerja keras untuk totalitas menjadi mentor. Aih malah cerita Yudha. Kembali ke topik semula. Kesan pertama bertemu Kak Hessel dan Kak Acle saat itu adalah “Wah ini orang pinter-pinter yak” (entahlah mengapa aku menyimpulkan itu, mungkin cara bicara mereka menyakinkan hehe).

Setelah Kak Hessel lengser, penggantinya Kak Acle, lagi-lagi tidak melalui pemilu, tapi ditunjuk kahim. Aku masih mau menjadi timsen. Saat itu, aku sudah jauh lebih dekat dengan Kak Acle, tadinya mah takut gitu, soalnya mukanya serem. Jadilah dia meminta bantuan kepadaku dan mencoba berdiskusi tentang ajuan draf yang akan dia bawa menjadi Ketua Kongres. Tadinya aku tidak setuju, karena melihat Kak Hessel yang menjadi Ketua Komisi saja sudah keos dan timsen terbengkalai, apalagi ini. Ya namun membunuh mimpi orang itu tidak baik, dalam hati aku berkata, “Kalau sampai kepilih, aku harus menerima tawaran menjadi deputi nih, kalau ga nanti timsen ga kepegang.” Dan benar, keputusan yang hadir adalah dia menjadi Ketua Kongres KM ITB 2018/2019, itulah sebabnya aku menjadi Deputi Kesenatoran kemudian mencari Dirjen Penarikan Aspirasi dan Media. Timsen yang bertahan pun sudah tidak terlalu banyak. Dalam keberjalanannya memang naik turun, penuh kesal namun juga lengkap dengan bahagia. Cerita lengkap perasaanku selama jadi deputi sudah disampaikan ke orang yang suka makan ayam KFC sih, jadi rasanya tidak perlu aku tulis di sini ya, hehe.

Hasil Perenungan Terakhir
Siapa bilang mudah bagiku memutuskan untuk akhirnya mau menjadi PJS Senator kemudian menjadi Senator? Tentu sulit, bahkan aku memikirkan ini setahun lebih, bebarengan dengan naiknya Kak Acle. Sangat sulit menentukan keputusan ini, tidak seperti biasanya, aku bisa dengan mudah mengiyakan atau menolak. Perenungan yang memakan banyak waktu ini. Sempat terpikir olehku untuk tidak karena nilai semester 5-ku sungguhlah buruk, namun ketika aku mencoba menghilang dari timsen, justru aku semakin kacau. Semester 6 menjadi penentuanku, jika masih saja buruk, aku akan berhenti dari timsen. Ternyata sebaliknya, justru nilaiku membaik, di masa dimana aku aktif di timsen. Pikiranku menerawang lebih jauh, “Bukan ini masalah utamanya, bukan akademik, lalu apa?”. Aku iseng bertanya pada ibuku, kaget, ibuku mengizinkan aku menjadi senator. Aku sudah terlalu aktif sejak TPB hingga tingkat 3, ah ternyata restu orang tua memang ajaib. “Oke bukan restu lagi masalahnya, lalu apa?”. Berbulan-bulan aku tidak yakin, malah semakin takut, mungkin karena semakin tahu kenyataan bahwa menjadi senator itu tidak mudah, banyak pengorbanan dan pertimbangan yang harus dipikirkan lebih jauh.

Aku menghindari Kak Acle, bahkan aku mengatakan tidak akan menjadi senator. Ini lebay sih, tapi aku sampai membuat surat karena merasa sangat tidak enak hati jika harus mengutarakannya langsung. Selama menghindar, aku bergerilya berdiskusi dengan senator di Kongres KM ITB 2018/2019 lainnya. Alasanku menghindar adalah pesan Kak Acle saat itu, “Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater, apakah kamu mau menjadi PJS Senator HIMAFI ITB?” (gila gaksi ini udah kayak apaan aja). Panas dingin siang malam, nafsu makan berkurang, rasanya ingin bertapa dulu.
Hasil bergerilyaku sungguh aneh, selalu mengarah kepada, “Eka bisa, Eka mah harus jadi senator ini mah”. Tapi akan kembali ragu jika aku menimang-nimang pengorbanan serta fungsi Kongres itu sendiri. Sampai akhirnya aku bertemu Kak Abi, hasil obrolanku dengan dia adalah hasil obrolan paling menyakinkanku sejauh itu. Dia menggali keraguanku, hingga aku tidak bisa menjawab lagi. Lalu, sepulangnya dari obrolan itu, aku memutuskan untuk maju. Alasan lain menghindar dari Kak Acle juga karena dia jago menggiring kemauan, jadi aku takut kemauanku bukanlah hasil keputusanku sendiri. Besoknya, aku mengabari Kak Acle, dia pun kaget, kemudian mengajak bertemu untuk memastikan. Es krim dan sebuah pesan-pesan ala bapak berpesan pada anaknya pun terjadi malam itu.

Pemira dan Warna-warninya
Aku menghindari masuk KPU karena sudah tahu KPU akan berat, juga toxic. Namun, semesta berkata lain, aku terlempar, mau tidak mau harus di KPU, mungkin ini yang namanya, “Konsekuensi dari terdidik.”. Masih kesal beberapa minggu tapi harus ikhlas karena menyesali bukan jalan terbaik untuk bertahan di sini. Kemudian inilah aku, yang sudah di KPU, terkejut bukan main saat tahu teman-teman KPU yang lain juga terlempar dan tidak ada background Pemira sama sekali. Aduh makin susah hidupku. Banyak mengeluh, pasti. 2019 adalah tumpah ruah kekesalan dan keluhanku. Satu hal yang membuatku masih bertahan di KPU adalah aku menyadari tujuanku masuk ke sini adalah untuk menjaga pemira. Dan untung saja teman terlemparku ini tidak menghilang.

Pemira ini menyimpan banyak misteri dan tantangan, banyak variabel yang harus dikontrol dan itu melelahkan. Banyak faktor yang bisa saja memengaruhi keberjalanannya. Seperti pemira tahun ini, saat aku menjalaninya sebagai KPU. Pencarian Kapanpel yang menyulitkan, aku bergerilya mencari dan terus mencari, mengajak ngobrol sana-sini, namun nihil, tidak ada yang mendaftar hingga sekian hari. Akhirnya di batas ambang penutupan ada dua, alhamdulillah. Aku mendapatkan kapanpel melalui FPT, kapanpel yang aku dapatkan sangat keras kepala dan sulit diatur. Setidaknya ini menjadi beban tambahan bagiku. Stimulus calon yang penuh kehati-hatian¸ aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, aku biarkan mereka yang terdengar ingin maju berpikir sebebas mereka, aku ingin keputusan yang muncul dari mereka memanglah keputusan mereka, bukan dorongan orang lain sehingga saat mereka terpilih tidak ada lagi alasan tidak amanah karena tidak didukung tim lagi atau menghilang karena pencalonannya bukan karena kemauannya sendiri. Drama tiga calon hanya dua yang lolos dan lanjut verifikasi, dilema sekali rasanya ingin memenangkan sistem atau ruh kekeluargaan ini, senang hatiku ada tiga calon, walaupun begitu hanya dua yang bisa lanjut verifikasi. Awalnya ada yang tidak setuju jika satu calon yang tidak lengkap gugur begitu saja, “Masa mimpinya terkubur karena administrasi”. NO! Ini hukum yang telah kita sepakati, dasar kekeluargaan saja tidak cukup membuat dia yang belum lengkap diberikan kesempatan untuk melengkapi. Alhasil, verifikasi dilakukan tengah malam menjelang pagi, sungguh awal dari kekeosan. Kandidat dan Promotor/Timses serta kahim tanpa senator yang banyak mau, aku ingin begini aku ingin begitu, begitulah mereka. Mungkin tak apa jika mereka banyak mau, itulah manusia, itulah mereka yang berkepentingan, tapi kok ya ngomongnya sama aku gitu loh. Ya tak apa ngomong sama aku, tapi kalau too much rasanya stres banget, denger banyak keluhan, denger banyak kemauan, kalau doraemon sih enak ya punya kantong ajaib, ini kan cuma Eka. KPU yang lain yang tak solutif, pantas saja entah panpel entah promotor/timses/kandidat/senator komisi lain/massa kampus kalau ada apa-apa ke aku, KPU yang lain sering ga solutif dan ga fastresponse. Awalnya aku marah dengan semua itu, pusing memikirkan semuanya dalam satu waktu, lama-kelamaan aku terbiasa dan kemudian “Yasudahlah, semesta memercayaiku”. Miscommunication di mana-mana, pemira ini rawan salah komunikasi, sangat toxic untuk ukuran suatu kepanitiaan, sulit menjaga mereka semua dengan timeline yang superdinamis. Tidak terkondisikan dengan baik, pikirku. Pelan-pelan aku mencoba melayani semuanya, semua senang, aku pun senang, pikirku. Ah tapi memang sulit memenangkan semua pihak. Keidealanku pun luntur, seiring berjalannya waktu aku menjadi egois, aku pernah melempar semua pertanyaan ke KPU yang lain, aku menghilang. Tapi sekembalinya aku, justru jauh lebih keos. Ah, inikah yang namanya hidup? Begitu berat. Pantas saja tidak ada yang mau di KPU.

Sebuah Penantian yang Mendebarkan
Setiap hal dalam pemira adalah sesuatu yang mendebarkan, tidak hanya manusianya, tidak hanya peraturannya, tapi semuanya. Bahkan aku tidak menyangka sudah bertahan selama dan sejauh ini. Telingaku terbuka lebar, mulutku juga untuk menghalau badai yang datang. Terkadang aku ingin menutup telingaku dengan segala protes. Tapi tidak bisa, itu akan memperburuk segalanya. Melalui Pemira KM ITB 2019, aku belajar banyak hal, belajar menerima teman-teman KPU-ku yang jarang solutif tapi selalu ada untukku dan pemira, belajar menerima panpel yang keras kepala (kapanpelnyan sih) tapi selalu mau direpotkan, belajar menerima promotor atau timses yang rebel minta ini itu, belajar menerima senator komisi lain yang butuh dijelaskan ini itu dan menuntut panpel ini itu tapi juga ga banyak bantu, serta belajar menerima massa kampus yang selalu saja tidak puas dengan apa yang berusaha aku lakukan. Sungguh pembelajaran yang sangat berharga. Mungkin jika aku tidak di KPU, ku tidak banyak bertemu dengan banyak anak 17 yang aku ajak untuk menjadi kapanpel, aku akan gabut sembari komisi lain keos, aku tidak akan khawatir dengan opsi-opsi yang aku tawarkan dan aku pilih. Semoga KPU selanjutnya bisa jauh lebih solid dan sabar. Aku bersyukur teman-teman Kak Acle selalu ada untukku ketika teman-teman kongresku tidak bisa aku ajak diskusi. Terima kasih kepada semesta yang sudah membenturku sedemikian sehingga aku menjadi lebih kuat lagi.[]

Komentar

Postingan Populer